Hunian Orang Asing : Hak Pakai setara dengan HGB?


OPINI – Setakat berbicara pada helat  Indonesia Property & Bank Award  (IPBA) 2016, Menteri ATR/Kepala BPN  Sofyan Jalil  menuturkan perlunya  tambahan  aturan kepemilikan properti bagi orang asing agar berjalan efektif. Dia mengatakan segera membuat  surat  edaran yang menegaskan bahwa Hak Pakai untuk Orang Asing itu sama derajat dengan Hak Guna Bangunan (HGB).

Patut  diajukan klarifikasi maksudnya menyamakan derajat Hak Pakai (HP) dengan HGB?  Bukankah UUPA sudah jelas  membedakan antara HP dengan HGB?  Pembedaan itu bukan semata  istilah saja,  namun ada soal mendasar  melekat di dalamnya. Yakni,  perihal azas nasionalitas yang  pembeda antara UUPA dengan Agrarish Wet versi kolonial Belanda. 

Dalam UUPA ditegaskan HGB seperti halnya Hak Milik (HM) dan Hak Guna Usaha (HGU) hanya dimiliki badan hukum Indonesia dan WNI. Tidak boleh WNA atau badan hukum asing. Berbeda dengan HP yang bisa dimiliki bukan orang Indonesia dan bukan badan hukum Indonesia. Ada sari pati yang historis dan fundamental yang membedakan HGB dengan HP, yakni azas nasionalitas. 

Lantas,  jika  bermaksud menyamakan derajat HP dengan HGB, apakah menyamakan  jenis hak atau recht titel-nya? Atau kemudian bermuara kepada tidak diperlukannya lagi HGB? Jika demikian, hal itu ahistoris dan melawan azas nasionalitas dalam UUPA.

Kalau soalnya HP dianggap tidak menarik bagi orang asing dan tidak komersial bagi perbankan, apakah Menteri ATR/Ka.BPN  hendak menyatakan  bahwa  HP  tidak transfereble dan tidak bankable/securable?   Kalau demikian, perlu dijelaskan bahwa HP itu transferable dan bankable/securable. Mengapa?

Merujuk  UUPA,  HP  dapat diberikan  bagi orang asing penduduk Indonesia.   Artinya,  UUPA tidak anti pemilikan  tanah bagi orang asing namun dengan dengan HP.   Masih merujuk UUPA,  bahwa   HM, HGB, HGU terikat dengan azas nasionalitas  sehingga  tertutup bagi WNA. 

Menurut   Pasal 42 UUPA, HP  dapat diberikan kepada 4 (empat) kelompok,  yakni  WNI,  orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Namun,  masih menurut UUPA ada pembatasan atas HP yakni hanya  untuk dua hal yakni menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah.  Jangka waktu berapa lama?  Jangka waktu HP  tidak diterakan dalam UUPA. Berbeda dengan HGB dan HGU yang diterakan eksplisit jangka waktunya.  Ikhwal jangka waktu HP,  dalam  UUPA  hanya  disebutkan:  ‘jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu'(vide Pasal 41 ayat 1 UUPA).

Jadi,  UUPA tidak melarang  jika regulator mengatur jangka waktu HP  dengan  Peraturan Pemerintah (PP) yang derajatnya dibawah Undang-undang.  Setakat ini,  jangka waktu  HP  dalam PP No.40 Tahun 1996 adalah  paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang  20 tahun (25+20).  Jadi, lebih singkat dari HGB (30+20 tahun), dan HGU (25 atau maksimum 35+25 tahun).   Namun,  PP No.40 Tahun 1996 memungkinkan pembaharuan HP (Pasal 45 ayat 2). 

Ikhwal meminta tambahan  jangka waktu HP  tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) dan justifikasi Pemerintah dalam PP.  Bisa karena motif kebijakan ekonomi, ekstensifikasi pajak  properti atau kemanfataan lain.  Andai  menambah jangka waktu HP, hemat penulis tidak  lebih panjang dari jangka waktu HGB atau HGU.

Bandingkan dengan  PP No. 103 Tahun 2015 yang menentukan jangka waktu HP lebih lama dari PP No. 40 Tahun 1996.  Namun  berinovasi dengan menggunakan frasa Hak Pakai untuk Rumah Tunggal.  Merujuk Pasal 5 PP No. 103 Tahun 2015,  Orang Asing diberikan Hak Pakai  untuk Rumah Tunggal   (sebut saja “HPuRT”) pembelian baru  dan Hak Milik atas Sarusun di atas Hak Pakai (“HMSRS di atas HP”) untuk Sarusun pembelian unit baru.

Pasal 6 PP No. 103 Tahun 2015,  Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah HP  diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan  dapat  diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.  Jika  jangka waktu perpanjangan  berakhir, HP  dapat  diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.

Ringkasnya: jangka waktu HPuRT (30+20 tahun) dan pembaruan HP (30 tahun).  Jadi, dari sisi jangka waktu HGB (30+20 tahun)  yang  jika dibandingkan dengan HPuRT bagi Orang Asing (30+20 tahun), belum  termasuk  jika  diberikan pembaruan HP (30 tahun).

Dari sisi jangka waktu, HGB sama dengan  HPuRT bagi Orang Asing. Yang berbeda tinggal hanya  recht titel-nya saja. Namun, perlu klarifikasi karena jangka  waktu HP  versi PP No. 40 Tahun 1996 masih berlaku dan belum dicabut, sehingga ada perbedaan normatif keduanya. Mana yang berlaku?

Lantas,  jika jangka waktu HGB dengan HPuRT bagi Orang Asing sudah sama,  selain berbeda azas nasioalitas, apalagi yang hendak disetarakan seperti maksud Menteri ATR/Ka.BPN?  Bisa jadi bukan status hukum recht titel-nya,  namun perlakuan dan akseptasi sektor keuangan terhadap HP itu sendiri yang belum sama dengan HGU.  Apabila soal  itu,  sudah bukan batas wilayah otoritas sektor agraria dan pertanahan lagi. Walau masih bisa disinkronisasikan.

propertynbank.com

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Hunian Orang Asing : Hak Pakai setara dengan HGB?"

Post a Comment